Kamis, 23 April 2015

Good or Bad Role Model

Sebuah Opini Pendidikan

Baru-baru ini saya membaca artikel tentang perbulutangkisan Indonesia yang selalu berada di bawah bayang-bayang China. Padahal kita masih ingat betapa berjayanya bulutangkis kita di masa lalu. Ada sebuah komentar menarik dari Rexy Mainaky, salah satu legenda ganda putra yang sekarang menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI, mengenai fenomena ini. Beliau bertutur bahwa salah satu alasan mengapa ganda putra Indonesia pernah begitu ditakuti dan mampu mendominasi dalam dekade 90an adalah karena di Pelatnas mereka punya role model. Senior mampu menjadi role model bagi juniornya. Eddy Hartono/Rudi Gunawan mampu menjadi role model bagi Tony Gunawan/Halim Haryanto, kemudian seterusnya pada Rexy Mainaky/Ricky Subagja, lalu Chandra Wijaya/Sigit Budiarto misalnya. Namun setelah era Chandra/Sigit tali seakan terputus. Generasi selanjutnya hingga sekarang belum mampu membentuk estafet yang solid dalam mendominasi bulutangkis dunia.


Menarik mencermati tentang role model seperti yang diungkapkan oleh Rexy Mainaky tersebut. Hal yang sederhana sebenarnya: duplikasi. Hanya mencontoh saja. Namun merupakan material dasar dari bangunan besar bernama kebudayaan. Bukan hanya di bulu tangkis saja tentunya. Semua segi kehidupan memilikinya. Ya, semua segi kehidupan yang melibatkan daya dari budi (akal) manusia. Tidak terkecuali di sekolah.

Setiap sekolah memiliki budayanya sendiri, yang mengurat mengakar melalui proses panjang dalam membangun diri. Seiring perjalanan sekolah membentuk budaya yang sesuai dengan dirinya yang kemudian diperkuat oleh pandangan masyarakatnya dalam bentuk “citra baik” atau “nama buruk”. Sekolah teladan misalnya, adalah nama baik yang dilekatkan oleh masyarakat kepada sekolah yang terkenal memiliki budaya yang baik. Demikian sebaliknya dengan sekolah ‘pinggiran’ yang dilekati dengan nama kurang baik oleh masyarakat karena dianggap memiliki budaya yang kurang baik. Yang menarik untuk dicermati adalah mengapa ‘sekolah unggulan’ mampu menghasilkan lulusan yang “kebanyakan” baik (dalam hal karakter dan akademik) dan ‘sekolah pinggiran’ menghasilkan sebaliknya? Bukankah siswa di dalamnya sama-sama anak manusia dan di didik oleh guru yang juga manusia. Lalu, apa pembedanya?


Istilah role model di sini berasal dari teori modelling (peniruan) seperti dikemukakan Albert Bandura. Bandura mengemukakan bahwa sebagian manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Intinya adalah peniruan. Proses peniruan inilah yang saya ibaratkan sebagai material dasar pembentuk kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri meskipun awalnya merupakan bentukan masyarakat sosial namun pada gilirannya kemudian kebudayaan itu yang membentuk masyarakat sosialnya. Melalui modelling (peniruan) inilah dengan sederhana kita dapat memahami bagaimana proses kebudayaan itu memberikan bentuk pada corak perilaku masyarakatnya. Penjelasan  sederhananya seperti ini: seseorang pengusaha sukses dan dermawan banyak disukai orang-orang disekitarnya. Penyuka itu sedikitnya tentu merasa tertarik terhadap sesuatu yang ada di dalam dirinya pengusaha yang dermawan tersebut. Ketertarikan yang muncul kemudian diikuti dengan keinginan untuk dapat mengikuti jejaknya. Kencenderungan peniruan akan muncul pada saat seperti ini, yaitu saat dimana seseorang merasa ingin mengikuti apa yang orang lain capai baik dari segi sikap, kerja keras, bahkan tingkah laku kesehariannya.

Kembali ke pertanyaan mengenai sekolah unggulan dan sekolah pinggiran tadi. Di sekolah teladan, mereka memiliki lingkungan dan budaya yang  kokoh sehingga siswa keluarannya pun kurang lebih sama kualitasnya. Kebanyakan siswanya (meskipun bukan keseluruhan) adalah siswa yang berprestasi dan berkepribadian. Meskipun tidak ada sosok yang memegang kendali secara kasat mata, namun yang menjaganya adalah nama baik sekolah yang akhirnya menyeleksi; anak yang mau masuk tentu anak yang memang sesuai dengan budaya itu. Anak nakal dan malas tentu tidak mau masuk sekolah unggulan karena mereka pikir tidak akan ketemu teman buat nakal. Anak-anak yang merasa tidak cocok untuk masuk ke sekolah unggulan kemudian terkumpul ke dalam sekolah yang sesuai dengan budaya yang mereka inginkan yaitu sekolah pinggiran. Jika diungkapkan dalam kalimat sederhana, pembeda antara sekolah unggulan dan sekolah pinggilan adalah sekolah unggulan memiliki banyak pilihan siswa baik dan berprestasi (good role model) sedangkan sekolah pinggiran memiliki banyak pilihan siswa yang kurang baik atau bahkan nakal (bad role model).



Lihat saja, di sekolah unggulan ada banyak good role model seperti: Ketua Osis yang cakap, Ketua PMR yang berprestasi, juara olahraga, medali emas olimpiade sains, pemain gitar yang menjadi idola sekolah, atau sekedar siswa yang selengehan tapi lancar dalam setiap mapel di kelas. Siswa baru yang masuk akan tentu akan mengidolakan dan ingin menjadi seperti mereka. Memang masih terdapat siswa yang malas dan nakal, namun bayangkan kebanyakan siswa tidak menyukai mereka, masih tahankah? Bandingkan dengan sekolah pinggiran dimana mereka justru memiliki lebih banyak bad role model, seperti: siswa nakal yang berani menantang gurunya, siswa yang merokok ketika jam sekolah, siswa yang setiap hari dihukum. Mereka di dalamnya justru berlomba-lomba dalam melakukan kenakalan. Siswa yang penurut dan rajin diejek ‘cupu (culun)’. Meskipun ada sebagian siswa yang rajin dan baik, namun apakah artinya jika dibandingkan dengan mereka?


Begitulah role model bekerja. Siswa di bawahnya adalah penerus budaya yang dibawa oleh kakak kelasnya, baik ataupun buruk. Merubahnya bukan pekerjaan mudah, namun bukan pula mustahil. Butuh kerja keras yang tidak mudah dan konsistensi dalam jangka yang panjang. Kuncinya adalah hal besar yang bagus terdiri dari detail yang bagus pula. Mulai dari detail-detailnya. Buat sebanyak mungkin siswa berprestasi dan berkepribadian. Berikan sebanyak mungkin pilihan good role model di sekolah. Pertahankan ritme itu dalam jangka yang lama sehingga mengakar sebagai budaya. Setelah itu, kita (guru) tidak perlu khawatir lagi akan siswa kita ketika mungkin tiba-tiba kita mati, sebab cetakan kebudayaan telah mantap terbentuk. Seperti Nabi Muhammad yang telah memberikan cetakan yang mantap bernama Islam, bahkan hingga sekarang setelah lebih dari 15 abad ia tinggalkan.

“Sesungguhnya, dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik  (QS Al-Ahzab:21)”

RED/SlasiWidasmara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEnubar